Ya Allah, Sempurnakanlah kebahagiaan kami dengan menjadikan perkawinan kami ini sebagai ibadah kepada-Mu Dan bukti ketaatan kami kepada sunnah Rasul-Mu.

Depok, 06 Februari 2011

| Torik & Irma |

Jangan Lewatkan Baca Artikel Di Bawah Ini

Disarikan dari berbagai sumber, Alhamdulillah blog ini bisa memuat kumpulan artikel-artikel tantang pernikahan, motivasi penuh inspirasi, motivasi islami dan lain-lain. Silahkan klik judulnya untuk membuka artikel-nya

Awas! Hati Hati Ngomporin Orang Menikah

IRMATORIKdotCOM | Di sebuah forum, pembicara mengulas topik tentang perlunya menyegerakan menikah. Peserta forum itu terdiri dari bujang-bujang yang beberapa di antara mereka sudah masuk usia layak menikah dan punya kesiapan finansial yang memadai. Sindiran-sindiran pembicara cukup menusuk hingga membuat para peserta mesem-mesem. Di usia yang sudah harusnya menikah, kalau tidak disegerakan, memang membawa kekhawatiran kalau-kalau para bujang itu malah pacaran, atau bermaksiat yang lebih parah lagi. Jadi “pengomporan” yang dilakukan oleh pembicara itu wajar adanya.

Tapi sayang, di tengah peserta ada beberapa remaja usia SMA. Mereka ikut tertawa, ikut mesem-mesem, ikut mengangguk-angguk mendengarkan materi bersama peserta yang lain. Mereka setuju, pacaran harus dijauhi. Dan penggantinya, menikah harus disegerakan.

Kemudian pulanglah remaja usia SMA itu dan bertemu kedua orang tuanya. Berbekal materi-materi “kompor” yang didapat tadi, remaja itu memohon kepada orang tuanya agar segera dinikahkan. Nah lho…

Akhirnya orang tuanya cuma bisa mengelus dada dan keheranan dengan aktifitas pengajian si anak. “Pengajian macam apa ini?” Pikir mereka. Dan dari mulut si ibu, terlontar kata-kata: “Memang, kalau anak sudah ikut pengajian itu, nggak lama mereka akan minta nikah.” Maklum, si ibu sudah mendapati beberapa anak remaja tanggung ikut pengajian itu. Stigma tidak bisa dihindari, karena setiap anak remaja yang dilihatnya ikut pengajian itu, mereka akan merengek minta nikah.

Hadits yang berbunyi, “Berbicaralah kepada manusia menurut pengetahuan mereka.” (HR Ad-Dialami, Bukhori) Memang mengindikasikan ada levelisasi pada kemampuan manusia dalam menangkap suatu retorika dan materi pembicaraan. Seperti tidak mungkin kita memberi pelajaran kalkulus pada anak SD, atau ushul fiqh pada anak yang baru belajar membaca Qur’an, materi yang mengandung provokasi untuk segera menikah rasanya terlalu dini diberikan pada anak remaja usia SMP atau SMA yang baru belajar Islam.

Memang tidak jarang seorang mentor menjawab pertanyaan, “Kak, kalau kita gak boleh pacaran, terus gimana kalo kita suka sama seseorang?”, dengan jawaban, “Islam tidak mengenal pacaran. Kalau kita suka sama seseorang, kita miliki dengan jalan yang halal, yaitu pernikahan.” Tentu seorang anak remaja puber yang mabuk kepayang dengan lawan jenis, dan pada saat yang sama ia mulai merasakan tentramnya hidup dalam jalan Islam, akan “kebelet” nikah agar cintanya berlabuh dengan indah dan halal. Dan kalau seperti ini, yang kaget adalah orang tua si anak.

Jawaban tadi tidak salah. Tapi kalau mau memberikan jawaban polos itu, lihat-lihtlah kondisi psikologis si remaja. Kalau misalnya diberikan jawaban, “Jodoh nggak kemana. Kehidupan kita telah diatur oleh Allah sebelum kita lahir di kitab Lauhul Mahfuzh. Sekarang kamu konsentrasi aja dulu belajar yang serius sampe lulus SMA dan lulus kuliah dan bekerja, fokus membentuk kepribadian yang muslim, dan membuat orang tua ridho. Perkuat cinta kamu kepada Allah karena cuma Dia yang berhak dicintai. Kalau Allah kehendaki, di saat kamu sudah siap berumah tangga, kamu akan menikah dengan dia.” Ya memang jawabannya panjang lebar. Dan tekankan agar anak itu melakukan hal-hal yang positif di usianya. Kalau belum apa-apa sudah diprovokasi menikah, konsentrasi belajarnya bisa buyar. Sayang kalau dakwah ini dipenuhi oleh remaja-remaja kebelet nikah dan melupakan prioritasnya di usianya.

Idealnya memang saat seorang anak sudah baligh, maka itulah saat yang tepat untuk menikah. Tapi dengan sistem pendidikan di negara ini, rasanya hal tersebut susah. Usia hingga SMA adalah usia wajib belajar. Sistem pendidikannya masih menerapkan disiplin yang ketat. Seragam hingga absensi diatur dengan ketat. Agak susah kalau anak usia SMA harus membagi perhatiannya antara belajar dengan mencari nafkah atau mengasuh anak. Beda dengan anak kuliahan yang sistem belajar di kampusnya tidak begitu ketat seperti SMP/SMA. Ada banyak cerita anak kuliahan yang sudah menikah.

Tapi walau masa kuliahan sudah lepas dari pendidikan penuh disiplin dan ketat, tetap saja seorang “pengompor” harus hati-hati memprovokasi anak kuliahan. Karena tidak semua orang punya kemampuan membagi waktu antara menikah dan belajar. Banyak kasus mahasiswa yang menikah namun kuliahnya berantakan. Kondisi tiap orang berbeda. Perhatikan prioritas dan potensi seseorang. Jangan sampai seorang kader dakwah yang punya potensi besar menjadi ahli di bidang tertentu, potensinya tenggelam karena terprovokasi untuk menikah dan kuliahnya jadi berantakan karena sibuk mencari uang dan gagal mengatur waktu.

Sebuah cerita lain, Seno adalah kader dakwah yang baru saja lulus kuliah dan baru saja diterima bekerja. Selama ini kuliahnya dibiayai oleh orang tuanya dan kakaknya. Orang tuanya pensiunan PNS berpangkat rendah dan hidupnya dibantu dengan pemberian anaknya yang sudah mapan. Gaji PNS-nya tidak memadai untuk kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari Seno mengutarakan keinginannya untuk menikah kepada orang tuanya. Orang tuanya kaget dan pusing tujuh keliling. Tidak ada tabungan untuk membiayai pernikahan Seno. Bahkan Seno sendiri tidak punya apa-apa untuk hidup berumah tangga. Tidak punya kasur, lemari, perabotan, bahkan tabungan. Ia mengandalkan gaji barunya yang sebenarnya jauh dari cukup untuk menghidupi dua orang. Seno berkilah bahwa calon istrinya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri. Orang tuanya bingung, bukankah menafkahi itu tugas suami. Orang tuanya berfikir apakah di pengajian Seno tidak diajarkan bahwa suami berkewajiban menafkahi istri?

Rupanya Seno mendapat “kompor” dari guru ngajinya, yang dulu menikah dalam kondisi serba tidak berkecukupan. “Ana aja bisa, tidur dengan kasur busa kecil, tinggal di petakan sempit. Makan kadang cuma pake tempe.” Semakin bingung orang tuanya, ini pengajian macam apa. Dan kakaknya marah-marah karena orang tuanya belum lagi menikmati gaji Seno, tapi Seno malah sudah buru-buru menghidupi orang lain. “Mana bakti kamu?” Tanya kakaknya. Itu baru kesiapan finansial yang nihil dimiliki Seno. Kesiapan ilmu? Seno sendiri baru beberapa bulan ikut pengajian.

Memang harus hati-hati memprovokasi seseorang untuk menikah. Kasus Seno akan menjadi kontraproduktif bagi dakwah. Kasusnya akan terdengar oleh keluarga besar, dan akan menimbulkan antipati bagi dakwah. Cerita seorang sahabat yang menikah dengan cincin besi, itu tepat diberikan pada bujang yang sudah semestinya menikah tapi takut miskin. Namun untuk bujang seperti Seno, ia masih punya waktu untuk menabung mempersiapkan diri menikah sehingga tidak perlu membuat pusing orang tuanya, atau malah mengandalkan hidup dari istrinya (walau istrinya rela). Ia sudah punya semangat menikah, tinggal dimenej dan diarahkan untuk persiapan yang cukup. Ayat “Kalau kamu miskin Allah akan mengkayakan kamu,” (QS An-Nur : 32) bukan berarti tergesa menikah dengan persiapan yang sangat minim, padahal kalau mau bersabar menunggu persiapan itu akan terpenuhi.

Kebanyakan orang tua kader dakwah adalah orang umum dan tidak punya latar belakang dunia dakwah. Mereka punya logika sendiri dalam menilai anaknya apakah sudah harus menikah atau belum. Remaja yang terjejal cerita idealis tentang orang yang sukses menikah dini, biasanya mendapat resistensi dari orang tuanya yang menilai bahwa usia menikah adalah usia di mana sang anak punya penghasilan yang mapan. Benturan ini bisa membuat buruk citra dakwah atau suatu pengajian.

Seorang pengompor tidak boleh lepas dari menjelaskan apa itu persiapan menikah, bila memprovokasi orang untuk menikah. Jangan menjelaskan yang manis-manis saja tentang pernikahan. Provokasi yang tepat sasaran adalah pada bujang yang punya persiapan namun punya keraguan untuk menikah, bukan pada remaja tanggung yang persiapannya nihil dan masih jauh namun rentan tergoda untuk tergesa menikah.

sumber : muslimmuda

Nasehat Pernikahan Untuk Sahabat yang sudah atau akan Menikah

IRMATORIKdotCOM | Saudaraku….

Aqad nikah bukan hanya disaksikan oleh para keluarga, tapi juga para malaikat. Aqad mulia yang bukan hanya didoakan oleh keluarga dan sahabat, tapi juga mudah-mudahan di doakan para malaikat.

Pernikahan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT.Didalam Al Qur’an Allah SWT berfirman : Dan diantara tanda-tanda (kebesaranNya) adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang dan sayang …. (ar rum:21).

Pernikahan tanda-tanda kebesaran Allah SWT , karena Allah SWT telah menciptakan pada diri kita al ghorizah an nau’ (naluri kasih sayang), naluri yang membuat manusia lestari, seorang suami mencintai istrinya dan sebaliknya, seorang ibu menyayangi anaknya dan sebaliknya.

Saudaraku….

Sedikit nasehat untuk pernikahan kalian…. Ingatlah pilar penting pernikahan yang Insya Allah akan membuat pernikah menjadi sakinah mawaddah warahmah: ibadah, tho’ah (ketaatan) , shuhbah (persahabatan), dan dakwah.

Pertama, Pernikahan adalah ibadah, ini adalah prinsip penting. Inilah yang dinyatakan oleh Rosulullah saw : pernikahan itu adalah sunnahku, barang siapa yang membenci sunnahku, bukan bagian dari ku…. Karena itu pernikahan bukanlah didasarkan kepada sekedar materi, kecantikan, atau hawa nafsu. Pernikahan yang seperti ini akan langgeng selama didasarkan ketaatan kepada Allah SWT .

Karena itu, tetap sayangilah pasangan hidupmu meskipun mungkin materinya sedikit atau berkurang , atau kecantikan sudah mulai memudar….

Kedua , pernikahan haruslah didasarkan kepada ketaatan. Karena itu dalam pernikahan yang harus kita jadikan standar baik dan buruk adalah hukum syara’. Masing-masing harus mengetahui hak dan kewajibannya berdasarkan hukum syara’.

Ingatlah, suami adalah pemimpin rumah tangga. Ar rijalu qowwamuna ‘ala an nisaa (Annisa : 34). Laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga. Dalam tafsir al Jalalain dijelaskan ‘musallathuna ‘ala an nisaa yuaddibunahunna’ (Allah memberikan kekuasaan kepada laki-laki terhadap wanita untuk mendidik istri-istrinya’).

Jadi kepemimpinan itu adalah tanggung jawab, bukan jalan penindasan. Menjadi pemimpin artinya menjadi pelindung dan pembawa jalan kebaikan.

Rosulullah SAW menyatakan Imam itu bagaikan penggembala. Penggembala tentu tidak akan membiarkan gembalaannya kelaparan, terancam nyawanya, dan dia tidak akan pernah menjerumuskan gembalaannya ke jurang yang dalam. Begitu jugalah suami.

Adalah tugas suami untuk mencari nafkah ,melindungi keluarganya, dan mendidik keluarganya. Allah swt berfirman : wahai orang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..

Sifat utama yang harus dimiliki pemimpin adalah kesabaran. Sebab, membangun rumah tangga akan penuh tantangan , cobaan. Hal itu akan mudah dihadapi secara bersama-sama dengan kesabaran.

Sementara tugas utama istri adalah ummun wa robbatul bait ( ibu dan pengatur rumah tangga). Sifat utama yang harus dimiliki istri adalah ketaatan.

Ketiga, pernikahan adalah hubungan persahabatan (as Shuhbah). Bukan hubungan antara majikan dan buruh. Persahabatan haruslah didasarkan pada mahabbah (rasa cinta). Karena itu tumbuhkan dan peliharalah rasa cinta antara kalian berdua… Rosulullah menggambarkan hal itu dengan menyatakan kalau kalian mencintai saudaramu katakanlah uhibbuka fillah (aku mencintaimu dijalan Allah SWT), apalagi ke istri kita…. Tidak ada salahnya kalau setiap saat kita mengatakan kepada istrinya : aku menincintaimu kerena Allah SWT. Rosulullah saw juga untuk memupuk rasa cinta memanggil istrinya dengan sebutan yang penuh dengan pujian humaira (yang pipinya kemerah-merahan).

Persahabatan berarti bagaikan satu tubuh , yang saling menanggung bersama kebahagian demikian juga kesusahan. Persahabatan juga berarti saling memperkuat seperti bangunan kata Rosulullah saw yang saling memperkuat.

Persahabatan juga berarti harus diisi dengan saling menasehati. Menyadari kekurangan masing-masing. Kekurangan bukanlah untuk memperlemah persahabatan tapi justru untuk memperkuat. Ingatlah yang baik-baik dari pasangan hidupmu kata Rosulullah kalau kita sedang marah.

Terakhir, jadikanlah pernikaan ini sebagai upaya membangun markaz dakwah yang akan melahirkan generasi robbani yang melanjutkan perjuangan umat Islam. Melahirkan generasi yang mencintai agamanya dan memperjuangkan agamanya. Estafeta perjuangan ini harus tetap berjalan.

Ingatlah dengan menolong agama Allah dalam dakwahnya Allah akan menolong kita… Intanshurullaha yansurkum wayutsabbit aqdamakum . Pernikahan seharusnya akan memperkuat dakwah bukan malah memperlemah…

Terakhir saya ingin menyampaikan pesan Rosulullah kepada laki-laki : Sebaik-baik laki-laki adalah yang paling baik kepada keluarganya.. ‘Aku’ kata Rosulullah saw adalah yang paling baik kepada keluargaku

Sementara rosulullah saw juga berpesan kepada para wanita tentang sebaik-baik wanita : Sebaik-baik wanita adalah yang jika kalian (para suami) melihatnya akan menyenangkan hatimu, apabila diperintahkan dia taat, apabila kamu tidak ada disampingmu dia akan menjaga dirinya dan hartamu…

sumber : facebook

Ukhti, Yang Terbaik Telah Dipersiapkan Untuk Mu

IRMATORIKdotCOM |  
Semakin resah kurasa
Tatkala dia tak kunjung datang
Harus sampai kapan aku bersabar
Bersabar dalam penantian yang panjang

Keresahan dan kegundahan tak dipungkiri akan selalu hadir bersama godaan syaitan tatkala merenungi sebuah penantian. Tentunya keistiqamahan adalah sebuah penantian panjang yang akan menemani perjalanan dan untuk meruntuhkan ini syitan terbaiklah yang akan dikirimkan karena ini berkaitan dengan kesempurnaan bukan penantian yang sia-sia.

Akan banyak kisah perjuangan yang akan dilalui bersama ujian keistiqamahan ini. Kisah perjuangan yang akan menjadi nostalgia-nostalgia indah ketika berada di Jannah bersama senyuman indah yang membuat pipi merah merekah.

Tapi kemudian tak sedikit yang harus merelakan kisah-kisahnya harus berakhir dengan mengubah skenario yang seharusnya mempunyai ending yang indah dan membuat tersenyum Allah. Semoga Allah subhanahuwata’ala menjaga kita semua dari godaan yang dapat merubah skenario indah.

Saya ingin bercerita tentang sebuah skenario indah para pejuang.

Seorang akhwat pejuang yang kesehariannya di sibukkan dengan perjuangan. Perjuangan untuk bekal nantinya di hari penagihan. Haripun terus berganti, tak terasa pohonpun semakin terasa luas melindungi orang-orang di sekitarnya tak jarang juga membuat risih karena dedaunan yang gugur tidak pada tempatnya.

Tapi kemudian hal ini tak membuatnya gentar. Senyum manis selalu terukir di wajah sendunya, yang mungkin membuatnya lupa bahwa di sekelilingnya adalah orang-orang yang bernasib sama dengan dirinya tapi pohonnya masih sangatlah muda.

Hingga ketika datanglah seseorang mungkin akan hadir dalam kehidupannya. Ikhwan yang masih muda, kuat hafalannya, fasih lisan arabnya, dan lulusan dari ma’had yang cukup ternama.

Tapi kemudian, seperti ada tumboh kesombongan dalam sang calon yang belum akan menjadi pendamping hidupnya. “Saya mencari yang juga mempunya hafalan yang sama, bisa berbahasa arab yang sama, penduduk negri ini sepertinya tak cocok untuk kebaikan pemahamannya”. Naudzubillah. Ya, kita bersama bisa menilai bagaimana akhirnya.

Selang beberapa bulan telah berlalu, ada sebuah berita baik dan buruk dari sang ikhwan yang semakin hari semakin bangga dengan pemahamannya yang tentunya bisa baca tulis arab sehingga terkadang sulit menerima kitab terjemahan yang ada.

Berita baiknya, si ikhwan akhirnya telah menemukan calon untuk dirinya. Seorang akhwat yang juga fasih lisan arabnya, lebih muda dari kelahirannya, dan lulusan dari ma’had yang sama tapi dari daerah yang berbeda. Tentulah sebuah kekaguman yang nyata. Khayalan sebuah keluarga yang bersinergi dalam amalan-amalan dengan pemahaman yang luar biasa.

Tapi kemudian, telinga ini terdengar tak nikmat ketika bertanya tentang proses si ikhwan untuk menggapai kesempurnaan diennya. Ya, inilah berita buruknya. Mereka terlalu sibuk untuk ber-sms-an sebelum saatnya, tak jarang terlihat bergonceng berdua, bahk berdampingan ketika menghadiri sebuah acara. Naudzubillah. Kekaguman dan khayalan tadi-pun musnah seketika.

Ternyata, pemahaman tak selalu berbanding lurus dengan akhlak yang ada. Ibarat pohon yang tinggi, yang memiliki daun yang rindang, tempat yang sejuk ketika berteduh tapi justru tak ada yang mendekat karena pohon ternyata berduri.

Inilah hikmah yang bisa kita petik bersama, bahwa penantian itu sangatlah indah, penolakan itu ujian istiqamah, dan ketika tak kunjung datang adalah sabar yang berujung jannah. Bahwa ternyata yang terbaiklah yang telah dipersiapkan untuk mengisi relung-relung kosong di hati yang istiqamah. Pemahaman tidaklah selamanya melahirkan jannah, karena jannah hanya di isi oleh orang-orang yang istiqamah. Istiqamah dalam beragama, istiqamah dalam belajar, istiqamah dalam akhlak yang benar, dan istiqamah dalam penantian dengan skenario indah.

Wallahualam…

Aku semakin yakin
Bahwa dia akan datang
Datang dengan kondisi yang sesuai dengan diriku
Aku semakin yakin
Ketika dia tak kunjung datang
Allah masih mempersiapkannya
Mempersiapkannya agar ku bisa meraih jannah
Meraih jannah nanti bersamanya

Oleh : Faguza Abdullah

Manajemen Mengeluh

IRMATORIKdotCOM |
Tidak bisa dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengeluh. Disadari atau tidak, mengeluh seperti sudah menjadi bagian dari hidup. Hanya saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang membedakan antara satu personal dengan personal lainnya.
Biasanya perbedaan ini terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu masalah yang sedang ia hadapi. Sabar, ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk mengubah sebuah keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.
Sebaliknya, sikap apriori, pesimis dan berburuk sangka terhadap kejadian yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi menambah masalah baru.
Mengeluh sejatinya perwujudan dari rasa tidak puas, tidak ikhlas menerima sebuah ketentuan yang terjadi, baik dari segi materi dan non materi. Ketika sakit berkeluh kesah, macet mengumpat, banjir atau kekeringan mengkambing hitamkan orang lain. Atau ketika ditimpa musibah menghardik Tuhan tidak adil, gaji kecil, belum punya rumah dan kendaraan pribadi acap menyalahkan suami (bagi para istri) atau anak-anak nakal dan bermasalah tidak jarang meyalahkan istri (bagi para suami).
Ya, sebagian contoh kecil tersebut adalah manifestasi dari rasa tidak puas. Belum lagi kita saksikan fenomena di negeri yang kita cintai ini. Berita di televisi mayoritas menyuguhkan tentang aksi demo dan kekerasan, kerusuhan dimana-mana, tindak kriminal, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi-kolusi dan nepotisme dan banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan pada satu hal : ketidakpuasan! Sebuah potret masyarakat yang diwarnai dengan berbagai keluhan.
Lalu, sebagai seorang yang mengaku muslim dan punya tuntunan yang jelas tentu saja kita tidak akan membiarkan diri kita terperosok lebih jauh ke dalam perbuatan yang sesungguhnya dibenci oleh Allah Swt. Kenapa dibenci oleh Allah Swt.? Karena sesunggunya Allah Swt. menyukai hamba yang senantiasa bersyukur dengan segala ketentuan dan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
Melihat fakta yang mayoritas bahwa manusia tidak pernah lepas dari keluh kesah maka sangat penting bagi setiap muslim/muslimah mempunyai manajemen yang tepat agar tidak terpeleset dalam keluh kesah yang tidak diperbolehkan dan pandai menyikapi setiap kejadian yang dihadapi dengan mengacu kepada teladan kita Rasulullah Saw.
Mengeluh Indikasi Tidak Bersyukur
Allah Swt. berfirman dalam QS An-nahl : 18, artinya : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.”
Ketika seseorang hanyut dalam keluhan, panca inderanya pun tak mampu lagi memainkan perannya untuk melihat, mendengar, mencium dan merasakan nikmat yang bertebaran diberikan oleh Allah Swt. tak henti-hentinya. Hatinya serta merta buta dari mengingat dan bersyukur atas nikmat Allah yang tiada terbatas. Itulah sifat manusia yang selalu mempunyai keinginan yang tidak terbatas dan tidak pernah puas atas pemberian Allah kecuali hamba-hamba yang bersyukur dan itu hanya sedikit.
Pada zaman Sayyidina Umar al-Khattab, ada seorang pemuda yang sering berdoa di sisi Baitullah yang maksudnya: “Ya Allah! Masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit.”
Doa beliau didengar oleh Sayyidina Umar ketika beliau (Umar) sedang melakukan tawaf di Ka’bah. Umar heran dengan permintaan pemuda tersebut. Selepas melakukan tawaf, Sayyidina Umar memanggil pemuda tersebut dan bertanya, “Mengapa engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tidak ada permohonan lain yang engkau mohonkan kepada Allah?”
Pemuda itu menjawab, “Ya Amirul Mukminin! Aku membaca doa itu karena aku takut dengan penjelasan Allah dalam surah Al-A’raaf ayat 10, yang artinya: 'Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur'. Aku memohon agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, (lantaran) terlalu sedikit orang yang tahu bersyukur kepada Allah,” jelas pemuda tersebut.
Semoga kita menjadi hamba-hamba yang dikategorikan sedikit oleh Allah dalam ayat tersebut. Dengan selalu menjaga ikhlas dan sabar terhadap segala kejadian atau ketentuan yang diberikan oleh Allah. Dan berprasangka positif bahwa apa yang telah terjadi adalah yang terbaik menurut Allah, sehingga hanya rasa syukur saja yang terlintas di benak, terucap di bibir dan terlihat dari tindakan karena sesungguhnya jika kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat-Nya dan jika kita ingkar, sesunggunya azab Allah sangat pedih (QS Ibrahim:7).
Mengeluh Hanya Pada Allah Swt
Ketika sebuah kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang, katakanlah ditimpa sebuah masalah yang berdampak menitikkan air mata, menyakitkan hati, membuat kepala berdenyut-denyut dan menjadikan seseorang itu merasa diberi ujian yang sangat berat dan tidak sanggup mengatasinya sendiri, sebuah tindakan manusiawi jika ia membutuhkan orang lain dalam penyelesaian masalahnya. Lalu, benarkah tindakannya jika ia mengeluhkan masalahnya kepada orang lain?
Rasulullah Saw. pernah mengalami sebuah kondisi yang jauh dari yang beliau inginkan. Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan juga mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam beberapa bentuk diantaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak mau mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa Al-Quran adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir . Kaum musyrikin juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha mendengarkan Al-Quran dan dakwah Rasulullah Saw.
Dalam kondisi tertekan tersebut Rasulullah Saw. mengeluh dan mengaduh hanya kepada Allah Swt. seperti yang terkandung dalam QS Al-Furqon : 30, yang artinya : “Dan berkatalah Rasul: Ya Tuhanku! Kaumku ini sesung­guhnya telah meninggalkan jauh al-Quran”.
Begitu pula dengan Nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah,“ (QS. Yusuf : 86).
Dan Nabi Ayyub a.s. , yang disebutkan Allah dalam firman-Nya, bahwa Ayyub berkata, yang artinya : “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang,”(QS Al-Anbiyaa’: 83).
Sebaiknya, mengeluhlah hanya kepada Allah Swt., karena sesungguhnya semua kejadian sudah menjadi sebuah ketentuan-Nya dan hanya Dia-lah sebaik-baik pemberi solusi. Tetapi dalam kondisi-kondisi dimana seseorang mengeluh (sharing) tentang masalahnya kepada orang yang ia yakini amanah dan dengan catatan untuk mendapatkan penyelesaian, maka dalam hal ini sebagian ulama memperbolehkan.
Sebagaimana Ibnu Qayyim , dalam ‘Uddatu Ash Shabirin, menyatakan bahwa adapun menceritakan kepada orang lain tentang perihal keadaan, dengan maksud meminta bantuan petunjuknya atau pertolongan agar kesulitannya hilang, maka itu tidak merusak sikap sabar ; seperti orang sakit yang memberitahukannya kepada dokter tentang keluhannya, orang teraniaya yang bercerita kepada orang yang diharapkannya dapat membelanya, dan orang yang tertimpa musibah yang menceritakan musibahnya kepada orang yang diharapkannya dapat membantunya.
Membiasakan Diri dengan Mengeluh Positif
Mengeluh positif ? Spontan pasti muncul pertanyaan ketika membaca subjudul tersebut. Iya, ternyata mengeluh tidak selalu berkonotasi negatif. Tidak sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas menerima ketentuan dan hasad/iri pada orang lain acap kali membuat diri menjadi tidak berdaya sehingga mengeluarkan kata-kata yang bermakna tidak puas yang merupakan perwujudan dari mengeluh. Tetapi, jika seseorang hasad/iri terhadap kebaikan dan amal saleh orang lain yang membuat dirinya termotivasi untuk berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa mengurangi/menghilangkan kebaikan orang lain tersebut maka hasad model ini dikategorikan sebagian ulama sebagai hasad yang positif.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
Jadi, marilah kita sama-sama membekali diri dengan ketaatan hanya kepada Allah Swt. dengan cara senantiasa mendekatkan diri pada-Nya. Tidak pernah puas untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap desahan napas selalu mengaitkan dengan hukum-hukum-Nya. Jika ada niat dan tekad dengan sungguh-sungguh, insya Allah ikhlas dan sabar akan menjadi perhiasan yang akan mewarnai akhlak kita sehari-hari dan kita dihindarkan dari lisan dan sikap yang sering berkeluh kesah. Cukuplah mengeluh positif dalam genggaman, yaitu mengeluh dalam rangka bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dapat meraih derajat taqwa yang sesungguhnya. Wallahu’alam.
sumber : eramuslim

Menikah ala Islam, Mudah, Murah dan Berkah

IRMATORIKdotCOM | Adalah menjadi karakteristik khusus Islam bahwa setiap ada perintah yang harus dikerjakan umatnya pasti telah ditentukan syari’atnya (tata cara dan petunjuk pelaksanaannya). Maka tidak ada satu perintah pun dalam berbagai aspek kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah secara khusus seperti perintah shalat, puasa, haji, dan lain-lain, maupun yang terkait dengan ibadah secara umum seperti perintah mengeluarkan infaq, berbakti pada orang tua, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lain, kecuali telah ditentukan syari’atnya.

Begitu pula halnya dengan menikah. Ia merupakan perintah Allah SWT untuk seluruh hamba-Nya tanpa kecuali dan telah menjadi sunnah Rasul-Nya, maka sudah tentu ada syariaatnya. Persoalannya, kebanyakan orang mengira bahwa syari’at pernikahan hanya mengatur hal-hal ritual pernikahan seperti ijab qobul dan mahar, sedangkan masalah meminang (khitbah), walimah (resepsi) dan serba-serbi menjalani hidup berumah tangga dianggap tidak ada hubungannya dengan syari’at. Maka tidaklah mengherankan jika kita menghadiri resepsi pernikahan seorang muslim dan muslimah, kita tidak menemukan ciri atau karakteristik yang menunjukkan bahwa yang sedang menikah adalah orang Islam karena tidak ada bedanya dengan pernikahan orang di luar Islam.

Lantas, memangnya seperti apa menikah ala Islam itu? Untuk membahasnya secara lengkap jelas tidak mungkin di sini, karena tema seperti itu berarti membahas mulai dari anjuran menikah, ta’aruf (perkenalan dua orang yang siap menikah), meminang, akad, resepsi sampai pergaulan suami istri yang para ulama untuk menulisnya memerlukan sebuah buku. Karena itu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai mahar dan penyelenggaraan resepsi (walimah). Bukan karena yang lain tidak penting, tetapi mengingat dalam dua hal inilah kebanyakan masyarakat muslim kurang tepat dalam persepsi dan pemahamannya.

Tentang Mahar

“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).

Mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Dalam praktiknya tidak ada batasan khusus mengenai besarnya mahar dalam pernikahan. Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Zaadul Maad, memberi mahar untuk istri-istrinya sebanyak 12 uqiyah. Abu Salamah menceritakan, “Aku pernah bertanya kepada A’isyah ra, “Berapakah mahar Nabi SAW untuk para istrinya?” A’isyah menjawab, “Mahar beliau untuk para istrinya adalah sebanyak 12 uqiyah dan satu nasy.” Lalu A’isyah bertanya, “Tahukah kamu, berapa satu uqiyah itu?” Aku menjawab, “tidak” A’isyah menjawab, “empat puluh dirham.” A’isyah bertanya, “Tahukah kamu, berapa satu nasy itu?” Aku menjawab, “tidak”. A’isyah menjawab, “Dua puluh dirham”. (HR. Muslim).

Umar bin Khattab berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW menikahi seorang pun dari istrinya dengan mahar kurang dari 12 uqiyah.” (HR. Tirmidzi).

Dalam kisah lain Rasulullah SAW menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali ra dengan mahar baju besi milik Ali. Diriwayatkan Ibnu Abbas, “Setelah Ali menikahi Fatimah, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Berikanlah sesuatu kepadanya.” Ali menjawab, “Aku tidak mempunyai sesuatu pun.” Maka beliau bersabda, “Dimana baju besimu? Berikanlah baju besimu itu kepadanya.” Maka Ali pun memberikan baju besinya kepada Fatimah. (HR Abu Dawud dan Nasa’i).

Bahkan ketika seorang laki-laki tidak memiliki sesuatu berupa harta yang dapat diberikan sebagai mahar, Rasulullah SAW tidak menolak untuk menikahkannya dengan mahar beberapa surat dalam Al-Qur’an yang dihafalnya. Dikisahkan ada seorang laki-laki yang meminta dinikahkan oleh Rasulullah, tetapi ia tidak memiliki sesuatu pun sebagai mahar, walaupun sebuah cincin dari besi. Kemudian beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau menghafal Al-Qur’an?” Ia menjawab, “Ya, aku hafal surat ini dan surat itu (ia menyebut beberapa surat dalam Al-Qur’an). “Maka beliau bersabda, “Aku menikahkan engkau dengannya dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal itu!” (disarikan dari hadits yang sangat panjang dalam Kitab Shahih Bukhari Jilid IV, hadits no. 1587).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan tentang bentuk dan besarnya mahar, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami.

Tentang Walimah (Resepsi Pernikahan)

Walimah merupakan sunnah, diadakan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui pernikahan yang berlangsung sehingga tidak terjadi fitnah di kemudian hari terhadap dua orang yang menikah tersebut. Sedangkan mengenai tata cara penyelenggaraannya, syariat memberikan petunjuk sebagai berikut:


Khutbah sebelum akad

Disunnahkan ada khutbah sebelum akad nikah yang berisi nasihat untuk calon pengantin agar menjalani hidup berumah tangga sesuai tuntunan agama.


Menyajikan hiburan

Walimah merupakan acara gembira, karena itu diperbolehkan menyajikan hiburan yang tidak menyimpang dari etika, sopan santun dan adab Islami.


Jamuan resepsi (walimah)

Disunnahkan menjamu tamu yang hadir walaupun dengan makanan yang sederhana. (Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW telah mengadakan walimah untuk Shofiyah istrinya dengan kurma, keju, susu, roti kering dan mentega).

Diriwayat lain, Rasulullah SAW bersabda kepada Abdurrahman bin Auf, “Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.” Sedangkan mengenai batasan mengadakan walimah As-Syaukani dalam Nailul Authar menyebutkan bahwa Al Qadhi Iyadh telah mengemukakan bahwa para ulama sepakat tidak ada batasan khusus untuk walimah, meski diadakan dengan yang paling sederhana sekalipun diperbolehkan. Yang disunnahkan adalah bahwa acara itu diadakan sesuai dengan kemampuan suami.

Masih banyak pelajaran lain yang bisa dipetik berkaitan dengan acara walimah ini, yang membuat kita sampai pada satu kesimpulan bahwa menikah dengan cara Islam ternyata memang mudah, murah dan berkah!
(FB Panduan Pernikahan Dalam Islam )

Mengevaluasi Pengalaman, Menuju Pernikahan Sukses

IRMATORIKdotCOM | Apakah kita telah menikah dalam jangka waktu yang lama atau bisa jadi baru saja melangsungkan akad nikah, kita tetap akan bertanya-tanya tentang bagaimana pernikahan itu seharusnya. Apakah ini merupakan pernikahan yang sukses? Apakah kita pernah berpikir untuk menyerah? Jika kita melihat pernikahan kita telah sukses, apa yang telah kita lakukan untuk membuatnya bekerja? Dan jika kita melihatnya sebagai kegagalan, lalu apa peran kita di dalam kegagalan itu? Karena jika kita adalah bagian dari masalah, maka kita harus menjadi bagian dari solusi.

Mengevaluasi pengalaman pernikahan seseorang mengharuskan kita untuk kembali dan mengingat tentang apa persepsi pernikahan kita pada awalnya. Apa artinya bagi kita di awal, dan apakah semua berjalan di jalur yang benar? Ini juga membutuhkan evaluasi diri, untuk melihat apa yang telah kita lakukan untuk membuat pekerjaan pernikahan sukses. Hal ini mengharuskan kita untuk mempertimbangkan semua keadaan buruk, kesulitan, dan kendala yang kita hadapi melalui kehidupan pernikahan kita, dan untuk mengingat bagaimana kita berhasil untuk mengatasinya.

Sebelum menilai pernikahan kita merupakan sebuah kegagalan atau kesuksesan, kita harus menyadari bahwa tidak ada kehidupan yang lengkap dan bahwa kebahagiaan mutlak tidak ada di bumi. Kita harus mempertimbangkan kembali pkitangan kita yang kadang-kadang naif atau mimpi bahwa pernikahan harus dunia kemerah-jambuan, tiada apapun selain cinta, kenyamanan, dan kebahagiaan tanpa masalah atau kesulitan. Singkirkan persepsi salah itu, karena hanya akan merusak pernikahan kita.

Kita akan terkejut dengan kesulitan pertama atau masalah, dan semua impian kita akan hidup bahagia dan pernikahan yang berhasil akan lenyap, jika kita tidak menyadari dari awal bahwa hasil pernikahan kebanyakan tergantung pada diri kita. Kitalah yang membuat pernikahan yang berhasil, jadi jangan berharap untuk sukses sebelum bekerja untuk keberhasilan ini.

Masih Mungkinkah?

Namun, ini tidak berarti bahwa pernikahan yang sukses adalah tujuan yang sulit diraih. Itu hanya memerlukan upaya oleh kedua pihak untuk mengatasi rintangan dan kesulitan hidup yang terus menghadang jalan mereka. Perlu pengorbanan, cinta sejati, kebaikan, pengertian, pengampunan, dan kekuatan. Jadilah kuat untuk menantang kesulitan, untuk memaafkan, dan pengorbanan. Jadilah cukup sabar untuk mengejar kebahagiaan kita.

Orang-orang di masa lalu mengetahui hal-hal yang sangat baik dan berupaya untuk membuat hidup mereka sebahagia dan sedamai yang mereka bisa. Mereka selalu merasa membutuhkan satu sama lain, dan mereka jarang memikirkan perpisahan. Ini mungkin menjadi alasan mengapa angka perceraian saat ini dibandingkan dengan masa lalu, kita menemukan perbedaan besar dan tingkat lebih tinggi untuk pasangan hari ini.

Tidak ada keraguan bahwa kita hari ini hidup di kehidupan yang keras, tertekan dengan terlalu banyak hal, yang terkadang membuat kita lupa tentang diri kita sebagai manusia, yang membutuhkan cinta dan kasih sayang. Dan lupa bertindak sebagai pasangan yang harus peduli satu sama lain. Hal ini benar-benar akan memiliki dampak yang sangat buruk pada pernikahan kita, proyek terpenting seumur hidup kita!

Setelah hari yang panjang di tempat kerja, tekanan masalah keuangan, dan menjadi sibuk dengan hal-hal yang terlalu banyak dalam pikiran, kita lupa untuk peduli terhadap pasangan hidup kita. Kita lupa memberikan sentuhan lembut, kata manis, dan senyum di wajah, yang dapat memencairkan setiap ketegangan, atau menghapus kelelahan. Dan hari demi hari, hidup menjadi sulit, dan tak seorang pun siap untuk memaafkan, tidak ada orang yang mencoba untuk mengerti, dan tak seorang pun yang mampu memberikan pengorbanan. Kemudian, kita mulai menyalahkan satu sama lain. Dan hal itu berubah buruk ketika kita berhenti untuk meninjau apa yang terjadi dan membuat putar balik perjalanan yang cepat.

Mengambil Inisiatif

Sebelum menyalahkan pasangan untuk tidak peduli dan penuh kasih seperti sebelumnya, mari kita memikirkan cara untuk membawa kembali cinta dan kebahagiaan dalam hidup kita. Mari kita melihat ke dalam diri kita sendiri dan menemukan tentang kesalahan kita sendiri sebelum berbicara tentang kesalahan pasangan kita. Mari kita percaya bahwa tidak ada yang sempurna. Mari kita mengampuni untuk diampuni. Mari kita memahami untuk dipahami. Mari kita merasakan anugerah besar bahwa Allah telah memberikan kita suami atau isteri, memberikan pasangan hidup yang peduli tentang kita, yang mengasihi kita, dan membangun rumah tangga dengan kita.

Jika kita telah memiliki rumah tempat tinggal dengan pasangan kita untuk merasakan kehangatan dan perlindungan di dalamnya, ingatlah bahwa ada ribuan orang yang menginginkan anugerah seperti ini dalam hidupnya. Biarkan ini menjadi motivasi kita untuk menjadi kuat dan sabar dalam mengejar kebahagiaan kita.

Tentu saja, ini tidak berarti bahwa salah satu pasangan akan mengambil tanggung jawab seluruh pekerjaan perbaikan di atas bahunya, dan melakukan semua upaya itu sendiri. Pernikahan adalah tentang suatu pengalaman yang selalu berbagi: berbagi pikiran kita, usaha kita, dan perasaan kita. Berbagi saat-saat bahagia maupun saat sedih. Dan hanya ketika kita berbagi dalam hidup kita bersama-sama, ketika kita mengatasi kesulitan bersama, dan mengejar kebahagiaan kita bersama, itu yang akhirnya akan membawa kita pada pernikahan yang berhasil! (fimadani.com)

Do'a Minta Keturunan Yang Sholeh

IRMATORIKdotCOM |

Semoga kita bisa mengamalkan doa yang mudah dihafalkan ini. Semoga kita tidak jemu untuk selalu memanjatkan doa kepada-Nya. Allah tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu dia pulang dengan tangan hampa. Semoga Allah mengaruniakan untuk kita keturunan dan zuriat yang shalih dan shalihah dan istri yang solehah untuk kebaikan dunia dan akherat. Allahu Amien

Doa Untuk Memperbaiki Keturunan

Doa Pertama

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“ROBBANA HAB LANA MIN AZWAJINA WA DZURRIYATINA QURROTA AYUN, WAJALNA LILMUTTAQINA IMAMAA.”

Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Furqon: 74)

Doa Kedua

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

“ROBBI AWZINI AN ASYKURO NIMATAKALLATI AN AMTA ALAYYA. WA ALA WAALIDAYYA WA AN AMALA SHOLIHAN TARDHOH, WA ASHLIH LII FI DZURRIYATIY”

Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmatmu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku) (QS. Al Ahqof: 15)

Semoga kita bisa mengamalkan doa yang mudah dihafalkan ini. Semoga kita tidak jemu untuk selalu memanjatkan doa kepada-Nya. Allah tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu dia pulang dengan tangan hampa.

Betapa Indahnya Berumah Tangga

IRMATORIKdotCOM | Mendayunglah Kalian Hingga ke Tepian...

Ketika melihat pasangan yang baru menikah, saya suka tersenyum. Bukan apa-apa, saya hanya ikut merasakan kebahagiaan yang berbinar spontan dari wajah-wajah syahdu mereka. Tangan yang saling berkaitan ketika berjalan, tatapan-tatapan penuh makna, bahkan sirat keengganan saat hendak berpisah. Seorang sahabat yang tadinya mahal tersenyum, setelah menikah senyumnya selalu saja mengembang. Ketika saya tanyakan mengapa, singkat dia berujar "Menikahlah! Nanti juga tahu sendiri". Aih...

Menikah adalah sunnah terbaik dari sunnah yang baik itu yang saya baca dalam sebuah buku pernikahan. Jadi ketika seseorang menikah, sungguh ia telah menjalankan sebuah sunnah yang di sukai Nabi. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Allah hanya menyebut nabi-nabi yang menikah dalam kitab-Nya. Hal ini menunjukkan betapa Allah menunjukkan keutamaan pernikahan. Dalam firmannya, "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kalian yang berfikir." (QS. Ar-Rum: 21).

Menikah itu Subhanallah indah, kata Almarhum ayah saya dan hanya bisa dirasakan oleh yang sudah menjalaninya. Ketika sudah menikah, semuanya menjadi begitu jelas, alur ibadah suami dan istri. Beliau mengibaratkan ketika seseorang baru menikah dunia menjadi terang benderang, saat itu kicauan burung terdengar begitu merdu. Sepoi angin dimaknai begitu dalam, makanan yang terhidang selalu saja disantap lezat. Mendung di langit bukan masalah besar. Seolah dunia milik mereka saja, mengapa? karena semuanya dinikmati berdua. Hidup seperti seolah baru dimulai, sejarah keluarga baru saja disusun.

Namun sayang tambahnya, semua itu lambat laun menguap ke angkasa membumbung atau raib ditelan dalamnya bumi. Entahlah saat itu cinta mereka berpendar ke mana. Seiring detik yang berloncatan, seolah cinta mereka juga. Banyak dari pasangan yang akhirnya tidak sampai ke tujuan, tak terhitung pasangan yang terburai kehilangan pegangan, selanjutnya perahu mereka karam sebelum sempat berlabuh di tepian. Bercerai, sebuah amalan yang diperbolehkan tapi sangat dibenci Allah.

Ketika Allah menjalinkan perasaan cinta diantara suami istri, sungguh itu adalah anugerah bertubi yang harus disyukuri. Karena cinta istri kepada suami berbuah ketaatan untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga. Dan cinta suami kepada istri menetaskan keinginan melindungi dan membimbingnya sepenuh hati. Lanjutnya kemudian.

Saya jadi ingat, saat itu seorang istri memarahi suaminya habis-habisan, saya yang berada di sana merasa iba melihat sang suami yang terdiam. Padahal ia baru saja pulang kantor, peluh masih membasah, kesegaran pada saat pergi sama sekali tidak nampak, kelelahan begitu lekat di wajah. Hanya karena masalah kecil, emosi istri meledak begitu hebat. Saya kira akan terjadi "perang" hingga bermaksud mengajak anak-anak main di belakang. Tapi ternyata di luar dugaan, suami malah mendaratkan sun sayang penuh mesra di kening sang istri. Istrinya yang sedang berapi-api pun padam, senyum malu-malunya mengembang kemudian dan merdu uaranya bertutur "Maafkan Mama ya Pa..". Gegas ia raih tangan suami dan mendekatkannya juga ke kening, rutinitasnya setiap kali suaminya datang.

Jauh setelah kejadian itu, saya bertanya pada sang suami kenapa ia berbuat demikian. "Saya mencintainya, karena ia istri yang dianugerahkan Allah, karena ia ibu dari anak-anak. Yah karena saya mencintainya" demikian jawabannya.

Ibn Qayyim Al-Jauziah seorang ulama besar, menyebutkan bahwa cinta mempunyai tanda-tanda.

Pertama, ketika mereka saling mencintai maka sekali saja mereka tidak akan pernah saling mengkhianati, Mereka akan saling setia senantiasa, memberikan semua komitmen mereka.

Kedua, ketika seseorang mencintai, maka dia akan mengutamakan yang dicintainya, seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan seorang suami tentu saja akan mengutamakan istri dalam hal perlindungan dan nafkahnya. Mereka akan sama-sama saling mengutamakan, tidak ada yang merasa superior.

Ketiga, ketika mereka saling mencintai maka sedetikpun mereka tidak akan mau berpisah, lubuk hatinya selalu saling terpaut. Meskipun secara fisik berjauhan, hati mereka seolah selalu tersambung. Ada do'a istrinya agar suami selamat dalam perjalanan dan memperoleh sukses dalam pekerjaan. Ada tengadah jemari istri kepada Allahi supaya suami selalu dalam perlindunganNya, tidak tergelincir. Juga ada ingatan suami yang sedang membanting tulang meraup nafkah halal kepada istri tercinta, sedang apakah gerangan Istrinya, lebih semangatlah ia.

Saudaraku, ketika segala sesuatunya berjalan begitu rumit dalam sebuah rumah tangga, saat-saat cinta tidak lagi menggunung dan menghilang seiring persoalan yang datang silih berganti. Perkenankan saya mengingatkan lagi sebuah hadist nabi. Ada baiknya para istri dan suami menyelami bulir-bulir nasehat berharga dari Nabi Muhammad. Salah satu wasiat Rasulullah yang diucapkannya pada saat-saat terakhir kehidupannya dalam peristiwa haji wada':
"Barang siapa -diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari istrinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Ayyub atas kesabarannya menanggung penderitaan. Dan barang siapa -diantara para istri- bersabar atas perilaku buruk suaminya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Asiah, istri fir'aun" (HR Nasa-iy dan Ibnu Majah ).

Kepada saudaraku yang baru saja menggenapkan setengah dien, Tak ada salahnya juga untuk saudaraku yang sudah lama mencicipi asam garamnya pernikahan, Patrikan firman Allah dalam ingatan : "...Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian bagi mereka..." (QS. Al-Baqarah:187)

Torehkan hadist ini dalam benak : "Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan begitu pula dengan istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh rahmat, manakala suaminya rengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya" (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi' dari Abu Sa'id Alkhudzri r.a)

Kepada sahabat yang baru saja membingkai sebuah keluarga, Kepada para pasutri yang usia rumah tangganya tidak lagi seumur jagung, Ingatlah ketika suami mengharapkan istri berperilaku seperti Khadijah istri Nabi, maka suami juga harus meniru perlakukan Nabi Muhammad kepada para Istrinya. Begitu juga sebaliknya.

Perempuan yang paling mempesona adalah istri yang shalehah, istri yang ketika suami memandangnya pasti menyejukkan mata, ketika suaminya menuntunnya kepada kebaikan maka dengan sepenuh hati dia akan mentaatinya, jua tatkala suami pergi maka dia akan amanah menjaga harta dan kehormatannya. Istri yang tidak silau dengan gemerlap dunia melainkan istri yang selalu bergegas merengkuh setiap kemilau ridha suami. Lelaki yang berpredikat lelaki terbaik adalah suami yang memuliakan istrinya. Suami yang selalu dan selalu mengukirkan senyuman di wajah istrinya. Suami yang menjadi qawwam istrinya. Suami yang begitu tangguh
mencarikan nafkah halal untuk keluarga. Suami yang tak lelah berlemah lembut mengingatkan kesalahan istrinya. Suami yang menjadi seorang nahkoda kapal keluarga, mengarungi samudera agar selamat menuju tepian hakiki "Surga". Dia memegang teguh firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6)

Akhirya, semuanya mudah-mudah tetap berjalan dengan semestinya. Semua berlaku sama seperti permulaan. Tidak kurang, tidak juga berlebihan.Meski riak-riak gelombang mengombang-ambing perahu yang sedang dikayuh, atau karang begitu gigih berdiri menghalangi biduk untuk sampai ketepian. Karakter suami istri demikian, Insya Allah dapat melaluinya dengan hasil baik. Sehingga setiap butir hari yang bergulir akan tetap indah, fajar di ufuk selalu saja tampak merekah. Keduanya menghiasi masa dengan kesyukuran, keduanya berbahtera dengan bekal cinta. Sama seperti syair yang digaungkan Gibran,

Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan. Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari. Dan sebuah nyanyian kesyukuran tersungging di bibir senyuman

Semoga Allah selalu menghimpunkan kalian (yang saling mencintai karena Allah dalam ikatan halal pernikahan) dalam kebaikan. Mudah-mudahan Allah yang maha lembut melimpahkan kepada kalian bening saripati cinta, cinta yang menghangati nafas keluarga, cinta yang menyelamatkan. Semoga Allah memampukan kalian membingkai keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah. Semoga Allah mematrikan helai keikhlasan di setiap gerak dalam keluarga. Jua Allah yang maha menetapkan, mengekalkan ikatan pernikahan tidak hanya di dunia yang serba fana tapi sampai ke sana, the real world "Akhirat". Mudah-mudahan kalian selamat mendayung sampai ketepian.
Allahumma Aamiin.

Barakallahu, untuk para pengantin muda. Mudah-mudahan saya mampu mengikuti tapak kalian yang begitu berani mengambil sebuah keputusan besar, yang begitu nyata menandakan ketaqwaan kepada Allah serta ketaatan kepada sunnah Rasul Pilihan. Mudah-mudahan jika giliran saya tiba, tak perlu lagi saya bertanya mengapa teman saya menjadi begitu murah senyum. Karena mungkin saya sudah mampu menemukan jawabannya sendiri.(http://blog.iqbalir.com)

Serasa Serasi


IRMATORIKdotCOM |

Tidak karena kamu memiliki semua pesona itu sekaligus, maka kamu bisa mencintai dan mengawini semua perempuan. Begitu juga sebaliknya. Pesona fisik, jiwa, akal, dan ruh, diperlukan untuk menciptakan daya tarik dan daya rekat yang permanent bila kita ingin membangun sebuah hubungan jangka panjang. Tapi seperti berlian, tidak semua orang mengenalnya dengan baik, maka mereka tidak menghargainya.Atau mungkin mereka mengenalnya, tapi terasa terlalu jauh untuk dijangkau, seperti mimpi memetik bintang atau mimpi memeluk gunung. Atau mungkin ia mengenalnya, tapi terasa terlalu mewah untuk sebuah kelas sosial, atau kurang serasi untuk sebuah suasana.

Kira-kira itulah yang membuat Aisyah – Radhiyallahu`anha – sekali ini benar-benar gundah. Orang terbaik dimuka bumi ketika itu, Amirul Mu’minin, Khalifah kedua, Umar bin Khattab, hendak melamar adiknya, Ummu Kaltsum. Tidak ada alasan untuk menolak lamaran beliau kecuali bahwa Abu Bakar, sang Ayah, yang juga Khalifah Pertama, telah mendidik puteri-puterinya dengan penuh kasih sayang dan kemanjaan. Aisyah karena itu, percaya bahwa adiknya tidak akan kuat beradaptasi dengan pembawaan Umar yang kuat dan kasar. Bahkan ketika Abu Bakar meminta pendapat Abdurrahman bin Auf tentang kemungkinan penunjukkan Umar bin Khattab sebagai khalifah, beliau menjawab : “Dia yang paling layak, kecuali bahwa dia kasar”.

Dengan sedikit bersiasat, Aisyah meminta bantuan Amru bin `Ash untuk “menggiring” Umar agar menikahi Ummu Kaltsum yang lain, yaitu Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib yang ketika itu berumur 11 tahun. Karena garis jiwa, akal dan ruh mereka lebih setara dan karena itu mereka akan tampak lebih serasi karena bisa serasa. Berbekal pengalaman sebagai diplomat ulung, pesan itu memang sampai kepada Umar. Akhirnya Umar menikahi Ummu Kultsum bin Ali bin Abi Thalib.

Kesetaraan dan keserasian. Itu yang lebih menentukan daripada sekedar pesona an sich. Ibnu Hazem menjelaskan, kalau ada lelaki tampan menikahi perempuan jelek, atau sebaliknya, itu bukan sebuah keajaiban. Yang ajaib adalah kalau seorang lelaki meninggalkan kekasih yang cantik dan memilih kekasih baru yang jelek. “Saya tidak bisa memahaminya. Tapi memang tidak harus dijelaskan”.

Ibnu Hazem, imam terbesar pada mazhab Zhahiryah, yang menulis puluhan buku legendaries dalam fiqh, hadist, sejarah, sastra, puisi dan lainnya, lelaki tampan yang lembut dan seorang pecinta sejati, putera seorang menteri di Cordova, suatu ketika harus menelan luka: cintanya ditolak oleh seorang perempuan yang justru bekerja dirumahnya. Ibnu Hazem bahkan mengejar-ngejarnya dan melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan cintanya. Tapi tetap saja ditolak. “Saya teringat, kadang-kadang saya masuk melalui pintu rumahku dimana gadis itu ada disana, untuk berdekat-dekat dengannya. Tapi begitu ia tahu aku mendekat ia segera menjauh dengan sopan dan tenang. Jika ia memilih pintu lain, maka aku akan kesana juga tapi dia akan pindah lagi ketempat lain. Dia tahu aku sangat mencintainya walaupun perempuan-perempuan tidak tahu hal itu karena jumlah mereka sangat banyak di istanaku”.

Begitulah lelaki yang memiliki semua pesona itu ditolak. Bahkan ketika suatu saat Ibnu Hazem menyaksikan gadis itu menyanyi di istananya, Ibnu Hazem benar-benar terpesona dan makin mencintainya. Tapi ia hanya berkata dengan lirih: “Oh, nanyian itu seakan turun kehatiku, dan hari itu tidak akan pernah kulupakan sampai hari ketika berpisah dengan dunia”. Oh, lelaki baik yang terluka oleh hukuman keserasaan dan keserasian.

Oleh: Anis Matta, Lc
Sumber: Majalah Tarbawi Edisi 129 Th.7/Shafar 1427 H/30 Maret 2006 M.

Menikah, Menjemput Janji Allah di Telaga Kenikmatan

IRMATORIKdotCOM | Dalam rentang waktu satu minggu ini saja, saya mendapatkan setidaknya tiga buah undangan pernikahan. Mereka mau mengakhiri masa lajangnya, mengikuti sunnah Rosulnya dan menggenapkan separo Dien-nya, MENIKAH.

Semoga pernikahan kalian barokah, proses dan segala pernak-pernik pernikahannya juga barokah, dan tentunya masyarakat sekitar juga mendapatkan barokah atas pernikahan ini.

Menikah, sebuah kata yang selalu menarik untuk saya dengar dan bicarakan. Bukan karena saya sendiri telah menikah, bukan pula karena kita akan makan enak untuk perbaikan gizi dengan mendatangi wedding party-nya, dan juga bukan karena saya suka menikah, terlebih bukan karena saya ingin menikah lagi.

Wah kalau yang ini sih bakalan ada Perang Dunia Jilid III dalam keluarga saya. Lebih menarik lagi kalau yang menikah anak-anak muda, senang sekali rasanya mendengarnya. Jadi ingin muda lagi deh.

Dalam bukunya M. Fauzil Adzim-Kado Pernikahan Untuk Istriku-, saya pernah membaca sebuah kalimat “Menikah adalah salah satu cara membuka pintu rezeki”. Mungkin karena begitu banyaknya pintu rizki itu dan ternyata menikah adalah salah satu dari pintu-pintu itu.

Bisa jadi tidak ada bukti ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan untuk membuktikan hal ini, karena keyakinan ini akan didapat hanya dengan paradigma Iman, keyakinan yang utuh dan tidak ragu sedikitpun atas janji Allah sebagai Tuhan pemberi rizki pada semua makhluk-Nya.

Saat pertama kali dihadapkan dengan pertanyaan ‘menikah’ dalam hidup saya, perasaan ragu, bimbang, takut dan tidak percaya diri berkecamuk dalam pikiran, mengingat saya hanya seorang buruh berpenghasilan 500 ribuan perbulan.

Membayangkan bagaimana saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga, susah sekali saya menemukan keyakinan, apalagi bukti— bahwa seorang saya hanyalah menjadi perantara Allah memberi rezeki kepada makhluk-Nya yang ditakdirkan menjadi istri atau anak kelak.

Tapi pernikahan memang tidak bisa dihitung secara matematis, karena campur tangan Allah sungguh dominan disana. Jika kesiapan menikah diukur dari kemampuan materi, sungguh nestapanya orang-orang papa.

Apalagi setelah saya bekerja di negara orang seperti saat ini, saya menemukan banyak teman kerja dari Indonesia yang sudah mempunyai posisi bagus dan berpenghasilan di atas 50 juta tapi masih belum mampu menemukan keyakinan dalam hatinya untuk mengakhiri masa lajangnya.

Lalu apa sebenarnya janji Allah untuk orang-orang yang akan melangsungkan pernikahan? Sepanjang yang saya pahami inilah kira-kira janji Allah yag harus kita jemput.

“Dan nikah­kanlah orang–orang yang sen­dirian di an­tara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba–ham­ba sahayamu lelaki dan hamba-hamba sahaya yang per­em­puan, Jika mereka mis­kin Allah akan meng­ayakan mereka dengan karuniaNya. Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur [24] : 32)

Dari ayat ini dengan sangat jelas Allah Subhanahu wa ta’aala ber­janji akan meng­ayakan orang yang mis­kin jika mereka menikah karena meng­harapkan ridhoNya. Dimana janji Allah merupakan sesuatu yang pasti dan tidak per­nah Ia ing­kari.

Oleh karena itu tidak ada lagi yang mem­buat kita ragu untuk menikah. Melang­kah­lah dengan pasti menuju keridhoan Allah Azza wa Jalla dengan men­jalankan salah satu syari’at-Nya yaitu menikah.

Ada pula sabda Rasulullah, “Menikahlah maka kau akan menjadi kaya”. Mungkin secara logika akan sangat sulit dibuktikan statemen-statemen tersebut. Sebuah keniscayaan, akan banyak pertanyaan paling rewel dari makhluk bernama manusia, “Bagaimana mungkin saya akan menjadi kaya sedangkan saya harus menanggung biaya hidup istri dan anak?”

Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan interaksi sosial juga tidak bisa lagi saya sikapi dengan gaya para lajang yang simple, cuek serta penuh dengan konsep-konsep idealis. Contoh saja, kalau ada keluarga mertua, tetangga atau teman yang hajatan, menikah dan sebagainya.

Sunatullah berbanding lurus dengan keyakinan manusia, dengan sepenuh keyakinan hati dan iman, mari kita jemput janji Allah di telaga kenikmatan bernama MENIKAH.

Loh kenapa telaga kenikmatan? Menikahlah segera, niscaya anda akan tahu jawabnya. Wallahu'alam.

Oleh Ali Alfarisi /eramuslim

Mencari Sakinah dengan Mawaddah dan Rohmah

IRMATORIKdotCOM | Bismillahirrahmanirrahim..

Mudah-mudahan tulisan ini akan berguna buat teman-teman yang akan melangsungkan pernikahan, mengadakan perjanjian mitsaqon Gholizho yang suci, menggenapkan Ad-din. Kita senasib lhooo hee. Yuk baca bareng-bareng

For me, today is H-5 to my wed-day. Well, it means nothing without preparation. Setidaknya ada 3 hal yang harus dipersiapan dan terus diperbaharui sebelum dan sesudah pernikahan, kata Murabbiku: Iman, Ilmu, dan Amal.

Saya boleh menambahkan satu poin lagi? Silaturahim. Karena dengan silaturahim kita bisa mendapatkan banyak doa kemudahan dan keberkahan. Toh ukhuwah yang lahir dari silaturahim akan membawa kebaikan untuk kita kan? Asiiiik!

Tapi di tulisan ini, saya akan lebih mengangkat tentang salah satu ilmu atau informasi dasar terkait pernikahan. Dasaaaaaar banget. Bahkan ini bisa menjadi prinsip yang kuat, tekad bersama, visi yang terus dikejar. Apa hayooooo... Heee..

Gak jauh-jauh dari kata-kata yang biasa didoakan teman-teman kepada kita yang mau nikah kok. Yup, betul! Sakinah.. mawaddah.. rohmah.. (dan di akhir bisa ditambah dengan dakwah).

3 kata doang. Simpel. Gampang pula ngucapinnya dalam setiap doa. Menjadi 3 rangkaian kata yang indah dan membahagiakan bagi kita yang di doakan. Tapi apa kita benar-benar sudah memaknai kata-kata ini di dalam hati? Menjadi prinsip, tekad dan visi yang menghujam teguh? Sudah kita

persiapkan untuk menjadi dinding-dinding rumah tangga yang akan kita bina nanti?

Bentar, saya menghelas nafas dulu. Mencoba meresapi kembali makna dari 3 kata itu sebelum saya ejawantahkan ke dalam tulisan (gaya!). Well, tapi kayaknya tulisan dari ASMA NADIA di buku SAKINAH BERSAMAMU bakal lebih mudah diartikan. Jadi saya kopas aja yah heee.. (Udah sok sok menghela napas tetep aja jatohnya kopas! Dasar (mantan) mahasiswa :P ).

Yaaaaah, kecewa deh pembaca hee.. Gak usah mikirin kopas-nya yaaah, yang penting isinya insya Alloh bermanfaat. Kan mau bagi-bagi ilmuuuu *(geles aje kayak bajaj, Ang!)

Tentang “Sakinah”

Ini bukan tentang Ukhti Sakinah yah! (Gak lucu, Ang! Buruan deh jelasin!). Nah, begini nih kata Mba Asma Nadia..

“Alloh berfirman: Litaskuunuu ilaiha, artinya agar kau berteduh walai para suami kepada istrimu. Litaskuunuu berasal dari kata sakana yaskunu (berdiam atau berteduh). Dari kata sakana muncul istilah sakinah yang berarti tenang. Dalam firman yang lain, Alloh SWT. Berkata: “alaa bidzikrillahi tathma’innul quluub, hanya dengan mengingat Alloh hati menjadi tenang (QS. Ar-Ra’d: 28).”

Ya udah begitu deh Sakinah! Kayaknya udah jelas bahwa makna sakinah adalah ketenangan, rasa teduh, nyaman. Ini adalah hal yang diidamkan para suami kepada istrinya kan yah? “Ketika melihatnya menentramkan hati”, kata seorang lelaki saat mengutarakan ciri-ciri istri idamannya.

Terus istri seperti apa yang menjadi idaman? Jawabannya adalah istri yang suka ngegosip, cemburuan tanpa alasan, gak bisa ngurusin rumah, anak ditinggalin, ngomel-ngomel mulu! Itu dia jawabannya!!!

Protes? Gak suka sama jawabannaya? ALHAMDULILLAAAAAH, berarti hati pembaca ‘berontak’ yah saat mendapatkan jawaban yang gak seharusnya? Hee, setidaknya secara gak sadar kita tahu bahwa seorang istri idaman yang bikin tenang jika dipandang SAMA SEKALI BUKAN YANG SEPERTI ITU. BETUL, KAMU WAJIB PROTES. Memang bukan itu jawabannya, saya hanya mengetes kejujurna hati *jiah! Jitakin Anggi!

Hati manusia sebenarnya gak bisa berbohong. Sungguh! Karena hati adalah corong satu-satunya Alloh terhadap kita. Ada bagian kecil dari hati kita yang gak bisa diganggu gugat sama kebohongan. Melihat yang bathil dikit, dia langsung meng-alarm-kan diri. Cuman kadang manusianya yang tuli. Bukan hati yang sudah kotor, tapi kita yang gak jujur pada hati kita sendiri.

Nah, kebahagiaan adalah ketika hati kecil kita merasa tenang. Lalu bagaimana itu tenang? Yah itu, kembali kepada QS. Ar-Ra’d ayat 28. Itu aja! Titik! Ketika kita merasa jauh dari Alloh, maka di situlah hati kita merasa gusar. Jujur aja gak apa-apa kok. Gak usah tengsin. Kan jujur sama diri sendiri, gak pake konferensi pers kok. Iya kan? Bener kan? Dosa itu emang membuat hati menjadi gak tenang. Itu Pasti!

Nah, terkait dengan sakinah dalam rumah tangga, maka rumus untuk mewujudkannya adalah yah itu.. mengingat Alloh. Menjadikan Alloh sebagai darah dalam setiap tubuh rumah tangga. Tanpanya kita akan lemas tak berdaya, pucat pasi, dan lama-lama akan mati. Mengingat Alloh itu banyak.. banyaaaaak!

Rukun Islam itu ibadah-ibadah mengingat Alloh. Sholat terutama dan yang paling utama karena di dalamnya terdapat dzikrullah dan ayat-ayat-Nya (Ingat ibadah yang pertama kali diperhitungkan oleh Alloh itu sholatnya lhoo). Trus apa lagi? Mau yang paling ringan? Senyum! Itu juga ibadah! Tapi senyum yang bagaimana? Tentu saja senyum yang diniatkan untuk beribadah pada Alloh.

Bukan senyum yang sengaja dipasang buat ngedapetin perhatian seseorang yaaah. Lurusin niatnya booo. Sebenarnya apa saja menjadi bernilai ibadah ketika dilakukan dengan niat lurus karena Alloh koook. Insya Alloh mengandung pahala, dan yang namanya pahala pasti membahagiakan hati, sebesar apapun pengorbanan yang sudah dilakukan. Insya Alloh. Seperti cerita putri tercinta Rasulullah, Fatimah, yang sempat mengeluh saat harus menggiling dan menumbuk padi (ampe menangis karena saking beratnya). Tau ceritanya gak? Gak?!

Lalu siapa yang harus berperan dalam menciptakan sakinah dalam rumah tangga? Semua. Termasuk khodimat kalau kita punya. Ya suami, Ya istri, ya anak-anak, ya orang tua, ya mertua. Kata Mba-mba yang sudah berpengalaman bertahun-tahun dalam pernikahan, insya Alloh kebagaiaan dan ketenangan hakiki itu nyata ketika kita melihat suami atau anak-anak kita rajin ibadahnya.

Apalagi kalau dilakukan bersama-sama. Subhanallah... Kalau bisa dikatakan, mungkin sakinah ini menjadi dasar harapan bagi suami-istri dalam menjalankan rumah tangganya yang bahagia yah.. bahagia lahir bathin (mauuuuu). Makanya mungkin karena makna yang begitu mendasar itunya “sakinah” diletakan paling awal daripada dua saudara kembar lainnya: Mawaddah, Rohmah.

Tentang Mawaddah

Lets baca kopas-an dari Mba Asma Nadia di bukunya Sakinah Bersamamu..

“Mawaddah, berarti cinta. Tanpa mawaddah kehidupan keluarga akan terasa hampa dan menjenuhkan. Mawaddah biasanya sangat bersifat pribadi. Ia terlepas dari persoalan fisik. Itulah sebabnya Alloh memberikan penyeimbangnya, yakni Rohmah agar saat cinta mulai kehilangan cahaya, masih ada semangat rahmah yang menjaganya”

Hmm... mungkin maksud mawaddah di sini seperti cinta pada umumnya kali yah. Cinta-cinta yang biasa dijadikan tema paling yahud di dunia persinetronan, dunia permusikan, dunia pergosipan, dunia persilatan (?). Tapi yah itu kan, tiada yang abadi. Kadang cinta yang ada semakin membesar, semakin mantap dan indah.

Namun suatu hari bisa juga menyusut seiring dengan perjalanan waktu. Bisa jadi karena bosan atau apalah saya belum tahu. Tapi memang seperti itu, katanya, dalam sebuah penikahan (“katanya” karena pan aye belum nikah).

Cinta yang sudah ada, harus di jaga, di update, di scan dari virus-virus, di healing, diperbaharui, diinovasikan (caranya selama tetep syar’i), karena kalau kagak ia bisa saja berkurang.

Thats why, kewajiban istri itu bukan hanya melayani suaminya tapi juga menjaga pandangan suaminya (karena dari mata jatuhnya ke hati). Huuuu berat yah? Belum tahu sih karena saya belum nikah (akan! Bismillah,, perlancar ya Rabb #numpangdoa :P).

Yah, kita anggap saja peran ini tantangan. Toh suami juga manusia kan? (lagi-lagi kata mba Asma Nadia hee. Soalnya saya sih berharapnya suami saya nanti sadar diri kalau dia sudah beristri jadi awas aja kalo macam-maca :P). Ya udah segini aja tentang mawaddah, soalnya dia harus dijabarkan bersama dengan rohmah, si penyeimbangnya.

Tentang Rohmah

Di bukunya Mba Asma Nadia, “Rohmah artinya kasih sayang, diambil dari kata rohima yarhamu. Kata rohmah lebih bermakna kesungguhannya untuk berbuat baik, apalagi kepada keluarga.

Kata rohmah lebih mencerminkan sikap saling memahami kekurangan masing-masing lalu berusaha untuk saling melengkapi. Sikap ini menekankan adanya saling tolong menolong dalam bersinergi, sehingga kekurangan berubah menjadi kesempurnaan. Sikap rahmah pun lebih sering berperan ketika semangat cinta mulai menurun.

Nah, itulah mengapa mawaddah dan rohmah bagai romeo dan juliet yang jika keduanya ada, maka romantika rumah tangga menjadi sempurna. Tanpa Juliet, Romeo rela bunuh diri. Tanpa Romeo, Juliet rela pura-pura mati.

Mungkin maksudnya Asma Nadia, jikalaupun mawaddah itu sedang menurun, setidaknya tidak ujug-ujug menjadi cuek pada suami dan anak-anak, sehingga kesempatan cinta kembali bersemi akan selalu ada. Jadi cinta yang dimiliki tidak seenak jidat pindah ke lain hati. Hooo gitu yah.. Hmmm baiklah..

Tentang Dakwah

Simpel! Kalau kata guru ngajiku, pada dakwah inilah letak amal kita setelah menikah. Jadi jangan membayangkan amal itu hanya untuk kita dari dari kita (baca: keluarga), tapi dari dari kita, untuk masyarakat. Kan kita gak ingin masuk ke surga tanpa tetangga.

Nah, itulah mengapa Alloh menyerukan kita untuk berdakwah: menyampaikaan apa-apa yang benar. Misalnya menjadi tauladan keluarga muslim yang baik, atau menjadi ustadz di daerah tempat tinggal kita. Kan biasanya kalau ustadz lebih didengar tuh sama ibu-ibu hee. Yah intinya begitu, setelah kita mendapat kebaikan, maka sebarkan lagi kebaikan itu. Kita dapet pahala juga. Bisa jadi amal jariyah karena bentuknya ilmu.

.“Well,.. sebentar lagi.”

“Bahagia?”

“Of Course!!!”

“Deg-deg-an gak?”

“Iyalah!”

“Kenapa?”

“Karena takut”

“Lho takut apa?”

“Takut tidak mampu menjadi istri dan ibu yang shalehah.”

Ia pun tersenyum sambil memelukku.

Katanya, “husnudzon, Ang. Alloh menurut prasangka hamba-Nya. Ikhtiar dan luruskan niat menikahmu.”

Aku menatapnya dalam. Ah, Terimakasih hati.. Terima kasih ya Rabb..

.Maha Besar Alloh yang menciptakan laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan.

Maha Besar Alloh yang mempertemukan dan mengaitkan tali suci pada kita dan jodoh kita.

Maha Besar Alloh yang telah menumbuhkan cinta diantara keduanya.

Maha besar Alloh yang telah mengaruniai kasih dan sayang pada hati-hati kita.

Maha besar Alloh yang telah mengkaruniai kita keturunan-keturunan yang sholeh-sholehah.

Maha besar Alloh yang telah menjadikan kita keluarga yang sakinah, mawaddah mawarohmah.. dakwah.

Maha besar Alloh yang selalu ada pada jiwa-jiwa yang terbuka.

Jakarta, 14 Maret 2011, 10:37
Cinta adalah hamdalah, karena tanpanya ia hanya akan menjadi duka (Ang, 2011)

Oleh Dwi Asri Anggianasari

|eramuslim.com/keanggian.wordpress.com|

 

)| Copyright © 2011 IRMATORIKdotCOM |(

IRMATORIK dot COM